Gapura Bajang Ratu
Gapura Bajang Ratu berada di kawasan Situs Trowulan. Apa itu situs trowulan ?
Kawasan berdirinya struktur-struktur besar (candi, makam, dan kolam) mencakup wilayah sekitar 5 km × 5 km, dipotong oleh jalan negara yang menghubungkan kota Jombang dan Surabaya. Namun demikian, temuan-temuan yang terpendam diketahui berada di luar kawasan tersebut dan mencakup kawasan lebih luas dengan ukuran 11 km × 9 km, hingga mencakup pula wilayah timur Kabupaten Jombang.
Situs Trowulan telah didaftarkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 2009.
Pada Kawasan Trowulan banyak berdiri bangunan bangunan bersejarah yang di duga peninggalan kerajaan majapahit , yaitu :
- Candi Tikus - Gapura Waringin Lawang - Makam Putri Cempa
- Gapura Bajang Ratu - Candi Brahu - Kloam Segaran
- Candi Menak Jingga - Situs Watu Umpak - Makam Troloyo
- DLL
Kembali ke topik pembahasan kita ......
Kembali ke topik pembahasan kita ......
Gapura Bajang Ratu atau juga dikenal dengan nama Candi Bajang Ratu adalah sebuah gapura / candi peninggalan Majapahit yang berada di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia.
Bangunan ini diperkirakan dibangun pada abad ke-14 dan adalah salah satu gapura besar pada zaman keemasan Majapahit. Menurut catatan Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Mojokerto, candi / gapura ini berfungsi sebagai pintu masuk bagi bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara yang dalam Negarakertagama disebut "kembali ke dunia Wisnu" tahun 1250 Saka (sekitar tahun 1328 M). Namun sebenarnya sebelum wafatnya Jayanegara candi ini dipergunakan sebagai pintu belakang kerajaan. Dugaan ini didukung adanya relief "Sri Tanjung" dan sayap gapura yang melambangkan penglepasan dan sampai sekarang di daerah Trowulan sudah menjadi suatu kebudayaan jika melayat orang meninggal diharuskan lewat pintu belakang
Bangunan ini diperkirakan dibangun pada abad ke-14 dan adalah salah satu gapura besar pada zaman keemasan Majapahit. Menurut catatan Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Mojokerto, candi / gapura ini berfungsi sebagai pintu masuk bagi bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara yang dalam Negarakertagama disebut "kembali ke dunia Wisnu" tahun 1250 Saka (sekitar tahun 1328 M). Namun sebenarnya sebelum wafatnya Jayanegara candi ini dipergunakan sebagai pintu belakang kerajaan. Dugaan ini didukung adanya relief "Sri Tanjung" dan sayap gapura yang melambangkan penglepasan dan sampai sekarang di daerah Trowulan sudah menjadi suatu kebudayaan jika melayat orang meninggal diharuskan lewat pintu belakang
Pada tahun 1915, Oudheidkonding Verslag (OV) pertama kli mencetuskan penamaan bajang ratu. Dimana menurut arkeolog penamaan bajang ratu ini berhubungan dengan Raja Jayanegara yang merupakan Raja kerajaan Majapahit. Pada kitab Pararaton disebutkan bahwa Raja Jayanegara dinobatkan atau diangkat sebagai raja ketika masil kecil, sehingga kata bajang yang artinya kerdil dan digabung dengan kata ratu sehingga menjadi sebutan gelar ratu bajang atau bajang ratu bagi Raja Jayanegara.
Oleh karena itu, candi ini dibangun sebagai bentuk penghormatan kepada sang bajang ratu atau Raja Jayaneggara. Hal ini terlihat pada bagian kaki candi terdapat relief sri tanjung yang berisi cerita tentang peruwatan. Raja Jayanegara sendiri telah wafat pada tahun saka 1250 (penanggalan jawa) atau sekitar tahun 1328 masehi, yang disebutkan pula dalam kitab Pararaton. Sepeninggalannya, di dalam kedaton dibuatkan sebuah tempat suci dan arca dalam bentuk wisnu di Shila Petak dan Bubat. Selain itu, juga dibuat sebuah arca dalam bentuk Amoghasidhi di Sukalila.
Disitulah disebutkan bahwa setelah Raja Jayanegara wafat, tempat tersebut dipersembahkan untuk arwah Raja Jayanegara. Dimana Raja Jayanegara ini didharmakan di Kapopongan dan juga dikukuhkan di Antawulan atau Trowulan. Sehingga, sejarawan mengaitkan candi yang berbentuk gapuran ini dengan Crenggapura atau Cri Rangga pura atau disebut juga Kakopongan di Antawulan yang merupakan sebuah tempat suci yang disebutkan dalam kitab Negarakertagama.
Oleh karena itu, candi ini dibangun sebagai bentuk penghormatan kepada sang bajang ratu atau Raja Jayaneggara. Hal ini terlihat pada bagian kaki candi terdapat relief sri tanjung yang berisi cerita tentang peruwatan. Raja Jayanegara sendiri telah wafat pada tahun saka 1250 (penanggalan jawa) atau sekitar tahun 1328 masehi, yang disebutkan pula dalam kitab Pararaton. Sepeninggalannya, di dalam kedaton dibuatkan sebuah tempat suci dan arca dalam bentuk wisnu di Shila Petak dan Bubat. Selain itu, juga dibuat sebuah arca dalam bentuk Amoghasidhi di Sukalila.
Disitulah disebutkan bahwa setelah Raja Jayanegara wafat, tempat tersebut dipersembahkan untuk arwah Raja Jayanegara. Dimana Raja Jayanegara ini didharmakan di Kapopongan dan juga dikukuhkan di Antawulan atau Trowulan. Sehingga, sejarawan mengaitkan candi yang berbentuk gapuran ini dengan Crenggapura atau Cri Rangga pura atau disebut juga Kakopongan di Antawulan yang merupakan sebuah tempat suci yang disebutkan dalam kitab Negarakertagama.
Penamaan
"Bajang Ratu" dalam bahasa Jawa berarti "raja / bangsawan yang kecil / kerdil / cacat". Dari arti nama tersebut, gapura ini dikaitkan penduduk setempat dengan Raja Jayanegara (raja kedua Majapahit) dan tulisan dalam Serat Pararaton, ditambah legenda masyarakat. Disebutkan bahwa ketika dinobatkan menjadi raja, usia Jayanegara masih sangat muda ("bujang" / "bajang") sehingga diduga gapura ini kemudian diberi sebutan "Ratu Bajang / Bajang Ratu" (berarti "Raja Cilik"). Jika berdasarkan legenda setempat, dipercaya bahwa ketika kecil Raja Jayanegara terjatuh di gapura ini dan mengakibatkan cacat pada tubuhnya, sehingga diberi nama "Bajang Ratu" ("Raja Cacat").
Sejarawan mengkaitkan gapura ini dengan Çrenggapura (Çri Ranggapura) atau Kapopongan di Antawulan (Trowulan), sebuah tempat suci yang disebutkan dalam Kakawin Negarakretagama: "Sira ta dhinarumeng Kapopongan, bhiseka ring crnggapura pratista ring antawulan", sebagai pedharmaan (tempat suci). Di situ disebutkan bahwa setelah meninggal pada tahun 1250 Saka (sekitar 1328 M), tempat tersebut dipersembahkan untuk arwah Jayanegara yang wafat. Jayanegara didharmakan di Kapopongan serta dikukuhkan di Antawulan (Trowulan). Reruntuhan bekas candi tempat Jayanegara didharmakan tidak ditemukan, yang tersisa tinggal gapura paduraksa ini dan fondasi bekas pagar. Penyebutan "Bajang Ratu" muncul pertama kali dalam Oundheitkundig Verslag (OV) tahun 1915.
Lokasi
Sejarawan mengkaitkan gapura ini dengan Çrenggapura (Çri Ranggapura) atau Kapopongan di Antawulan (Trowulan), sebuah tempat suci yang disebutkan dalam Kakawin Negarakretagama: "Sira ta dhinarumeng Kapopongan, bhiseka ring crnggapura pratista ring antawulan", sebagai pedharmaan (tempat suci). Di situ disebutkan bahwa setelah meninggal pada tahun 1250 Saka (sekitar 1328 M), tempat tersebut dipersembahkan untuk arwah Jayanegara yang wafat. Jayanegara didharmakan di Kapopongan serta dikukuhkan di Antawulan (Trowulan). Reruntuhan bekas candi tempat Jayanegara didharmakan tidak ditemukan, yang tersisa tinggal gapura paduraksa ini dan fondasi bekas pagar. Penyebutan "Bajang Ratu" muncul pertama kali dalam Oundheitkundig Verslag (OV) tahun 1915.
Lokasi
Lokasi Candi Bajang Ratu berletak relatif jauh (2 km) dari dari pusat kanal perairan Majapahit di sebelah timur, saat ini berada di Dusun Kraton, Desa Temon, berjarak cukup dekat (0,7 km) dengan Candi Tikus. Alasan pemilihan lokasi ini oleh arsitek kerajaan Majapahit, mungkin untuk memperoleh ketenangan dan kedekatan dengan alam namun masih terkontrol, yakni dengan bukti adanya kanal melintang di sebelah depan candi berjarak kurang lebih 200 meter yang langsung menuju bagian tengah sistem kanal Majapahit, menunjukkan hubungan erat dengan daerah pusat kota Majapahit.
Untuk mencapai lokasi Gapura Bajang Ratu, pengunjung harus mengendara sejauh 200 meter dari jalan raya Mojokerto - Jombang, kemudian sampai di perempatan Dukuh Ngliguk, berbelok ke arak timur sejauh 3 km, di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Di sekitar lokasi Gapura Bajang Ratu di Trowulan (bekas ibu kota kerajaan Majapahit) tersimpan banyak peninggalan bersejarah lainnya dari zaman keeemasan saat kerajaan Majapahit adalah salah satu kerajaan yang disegani di muka bumi.
Arsitektur Gapura Bajang Ratu
Dilihat dari bentuknya gapura atau candi ini merupakan bangunan pintu gerbang tipe "paduraksa" (gapura beratap). Secara fisik keseluruhan candi ini terbuat dari batu bata merah, kecuali lantai tangga serta ambang pintu bawah dan atas yang dibuat dari batu andesit. Berdiri di ketinggian 41,49 m dpl, dengan orientasi mengarah timur laut-tenggara. Denah candi berbetuk segiempat, berukuran ± 11,5 (panjang) x 10,5 meter (lebar), tinggi 16,5 meter, lorong pintu masuk lebar ± 1,4 meter.[1]
Secara vertikal bangunan ini mempunyai 3 bagian: kaki, tubuh, dan atap. Mempunyai semacam sayap dan pagar tembok di kedua sisi. Kaki gapura sepanjang 2,48 meter. Struktur kaki tersebut terdiri dari bingkai bawah, badan kaki dan bingkai atas. Bingkai-bingkai ini hanya terdiri dari susunan sejumlah pelipit rata dan berbingkai bentuk genta. Pada sudut-sudut kaki terdapat hiasan sederhana, kecuali pada sudut kiri depan dihias relief menggambarkan cerita "Sri Tanjung".
Di bagian tubuh di atas ambang pintu ada relief hiasan "kala" dengan relief hiasan sulur suluran, dan bagian atapnya terdapat relief hiasan rumit, berupa kepala "kala" diapit singa, relief matahari, naga berkaki, kepala garuda, dan relief bermata satu atau monocle cyclops.
Fungsi relief tersebut dalam kepercayaan budaya Majapahit adalah sebagai pelindung dan penolak mara bahaya. Pada sayap kanan ada relief cerita Ramayana dan pahatan binatang bertelinga panjang.
Pada zaman Belanda, bangunan candi bajang ratu ini telah mengalami pemuggaran, namun tidak ada data yang diperoleh mengenai kapan tepatnya pelaksanaan pemugaran tersebut. Proses perbaikan yang telah dilakukan meliputi penguatan pada bagian sudut dengan cara mengisikan adonan pengeras ke dalam nat-nat yang renggang dan juga mengganti balok-balok kayu dengan semen cor. Selanjutnya, batu-batu yang hilang dari susunan anak tangga juga sudah diganti.
Kepercayaan Lokal
Pengaruh kebudayaan besar Majapahit masih terasa dalam kepercayaan masyarakat Trowulan. Menurut kepercayaan lokal, adalah suatu pamali bagi seorang pejabat pemerintahan untuk melintasi atau memasuki pintu gerbang Candi Bajang Ratu, karena dipercayai hal tersebut bisa mendatangkan nasib buruk.
Source :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar